Disuatu sore di bulan julli yang kelabu, aku ingat suatu hal yang selalu ku
pendam dan mungkin sejak bertahun-tahun
lalu. Aku melihat seorang bidadari yang rela mematahkan sayapnya demi mencintai
manusia yang biasa saja, yang bahkan orang tersebut tak pernah menyadari betapa
besar pengorbanan bidadari itu. Aku tak percaya ini aku bertanya,
“wahai bidadari, kenapa kau patahkan sayap indahmu?”
Dengan lemah ia menjawab “karna aku ingin dia tau, aku rela
mengorbankan apapun demi bersamanya, demi setara dengannya, demi kepantasan
berada disampingnya, dan aku telah bosan berkelana tanpa arah dan tujuan yang
jelas, karna dengan memandang wajahnya, aku mengetahui apa tujuan hidupku,
yaitu hidup dan abadi bersamanya” di akhir
penjelasannya ia tersenyum getir.
“tapi mengapa aku tak pernah melihatmu bercakap, atau hanya
sekedar duduk berdampingan dengannya? Bahkan ku lihat kau hanya melihatnya dari
balik semak yang jauh, hanya untuk melihat senyumnya, dan k au tersenyum juga? Apa
itu adil? Sungguh.. sungguh aku tak mengerti”
“memang banyak hal yang susah dimengerti, ingin rasanya
bercakap, duduk berdampingan dengannya, atau hanya sekedar bersapa dan bertukar senyum, ingin sekali hati
merasakan hal itu, hal itu hanya semacam angan yang ku sendiri tak yakin dapat
terwujud atau tidak. Karna dia telah memilih bersua dan bercakap dengan yang
lain, membicarakan masa depan, mereka percaya masa depan adalah milik mereka
berdua, iyaa itu pilihannya, tak dapat ku memaksa perasaanya..”
“tapii tapii tak mungkin juga dia yang kau cintai tak
menyadari kau menyimpan rasa terhadapnya, iya kan? Dan apa kau tak pernah
sekalipun mencoba sekadar memberi tau dia tentang perasaanmu?”
“sudah kucoba”
“lalu?”
“seperti yang kuduga, di jauh hatinya tak terdapat perasaan
yang seperti perasaan yang ku rasa, aku
malu, aku merasa hina, bahkan untuk menampakan wajah ku di hadapanya”
“dan sekarang kau menyesal?”
“aku tidak menyesal”
“lalu mengapa sekarang kau memilih tertatih-tatih pergi, dan
tidak mengaguminya dari jauh lagi? Seperti dulu?”
Dia terdiam cukup lama, seperti sedang mencari-cari
kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kepedihan hatinya, tak ku sangka, ku
dengan dia mengumpat sangat pelan dan tertunduk menitikkan air mata,
“aku hanya lelah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar